Selasa, 01 Maret 2011

Si Tubuh Tipis




Keinginanku hampir sama dengan perempuan lain yaitu memiliki berat badan ideal. Tapi keadaanku berbeda dari yang lainnya, disaat perempuan lain diet habis-habisan untuk mendapatkan tubuh yang ideal, aku justru sebaliknya, aku berusaha meningkatkan berat badanku agar mencapai berat badan yang ideal. Berat badanku tergolong dibawah rata-rata berat badan ideal. Ketika ada acara donor darah pu aku tidak masuk dalam kriteria pendonor darah, karena berat badanku dibawah rata-rata normal.
            Ketika aku masih duduk di kelas dua SMA aku seringkali mengeluh mengenai tubuhku yang bisa dibilang tipis, bahkan sepertinya jika ada angin puyuh melanda daerah ini aku tak bisa mneyelamatkan diri karena sudah pasti aku langsung terbawa angin (hihi lebay mode on). Berat badanku hanya mencapai 35 kilogram disaat teman-teman sebayaku memiliki berat badan ideal yaitu sekitar 45-50 kilogram. Beribu nasihat dari teman-temanpun meluncur kepadaku, mulai dari minum susu penambah berat badan, makan cokelat atau makan nasi sebelum tidur. Nasihat-nasihat itu pun ku jadikan referensi missiku untuk menaikkan berat badan.
Yang pertama kulakoni yaitu makan sebelum sebelum tidur karena menurutku ini yang paling mudah karena tak memerlukan biaya lebih dibanding harus membeli susu formula atau mengkonsumsi cokelat setiap hari yang bisa menguras kantong ku yang masih disuply dari orangtua.
Aku mengajak mengompori seorang temanku yang bernasib sama agar aku tak sendiri menjalankan misi ku untuk mempunyai berat badan ideal. Tak mudah memang untuk mengompori temanku, beruntung aku tak mempunyai skill mengompori orang, sepertinnya jika aku punya skill seperti ini aku bisa mengompori orang lain tuk hal-hal yang tidak baik, tapi kuharap apa yang ku lakukan ini adalah hal yang baik (hehe menghibur diri ceritanya).
Butuh waktu tiga hari tuk membujuk temanku agar ia mau ikut serta menjalankan 'missi' agar memiliki tubuh ideal. Pada hari ketiga, aku bersama seorang teman sekamarku  yang 'bernasib' sama sepakat untuk makan sebelum tidur. Setiap selesai makan malam, kami selalu mengambil nasi dan lauk yang akan kami makan sebelum tidur. Hal ini pun tak mudah, butuh pengorbanan juga karena santriwati memiliki jatah makan tiga kali dalam sehari. Tapi pada kenyataannya aku melihat banyak nasi dan lauk terbuang sia-sia di belakang dapur. Daripada terbuang sia-sia lebih baik kita saja yang memakannya. Ucapku lagi-lagi meyakinkan diriku sendiri dan menyakinkan temannku bahwa perbuatan yang kita lalukan adalah perbuatan yang benar.
Aku memberanikan diri berbicara dengan 'ibu dapur' - begitulah panggilan santriwati untuk  seorang wanita paruh baya yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang masak di pondokku, dan beliau membolehkan jika kami mengambil jatah makan menjadi empat kali karena beliaupun sebenarnya tak tega melihat lauk terbuang sia-sia karena tak habis dimakan penghuni pondok.
Dua minggu sudah kujalani makan sebelum tidur, tapi belum juga menujukan tanda-tanda berat badanku mengalami kenaikan yang pesat, hanya bertambah satu kilogram begitu juga temanku, tak ada perubahan yang berarti pada berat badannya.
"Kata siapa engga ada perubahan, tuh liat perubahannya ada di pipi," seorang teman ku berkata ketika aku lagi-lagi mtngeleuh soal misi penambah berat badan yang belum dapat dikatakan berhasil. Hah?apa iya? Aku tak menyadari perubahan ini. Setelah kupandangi cermin dihadapanku, memang kulihat perubahan disana, tapi bukan perubahan seperti ini yang kuinginkan, aku ingin berat badanku bertambah bukan dengan pipi yang jadi tembam.
Ku akhiri kegiatan makan sebelum tidur walaupun temanku masih semangat tuk menambah berat badan. Aku tak mau jika nanti berat badanku bertambah hanya di bagian wajah, sedangkan tubuhku tetap saja tipis.
Sekarang ku syukuri saja nikmat tubuh 'tipis' yang telah Allah berikan kepadaku toh inilah yang menjadikanku berbeda dengan lainnya

Mencari Sebuah Ketenangan Batin

  Jarum jam tanganku sudah menunjukan pukul setengah enam sore. Misi kristenisasi yang kujalankan hari ini membuatku begitu lelah, ku ingin segera mandi, membersihkan tubuhku yang berkeringat karena sedari tadi sibuk mondar mandi menyiapkan Taman Kanak Kanak keliling sebagai salah satu program kristenisasi dibawah pimpinan Om Lucas - adik ayah ku. Aku juga ingin segera merebahkan diri diatas kasur yang empuk dan berpetualang ke ruang mimpi.     
         Ku paksakan kakiku agar bisa terus melangkah masuk kedalam komplek, semakin cepat ku melangkah maka semakin cepat pula ku sampai kerumah. Tetapi entah mengapa langkahku selalu terhenti setiap kali melewati rumah mungil yang berada tak jauh dari pintu masuk komplek. Ada rasa ingin tahu yang begitu besar apa yang mereka lakukan di dalam rumah yang selalu dihiasi langkah kaki anak-anak berusia sekitar lima tahunan dan beberapa wanita seusiaku yang selalu memakai baju panjang dan rambutnya tertutup. Mungkin lain kali aku bisa berkunjung ke tempat itu. Hiburku dalam diri karena kini aku sudah sangat lelah sehingga aku tak bisa berlama-lama mengamati kegiatan mereka.      
         Kurebahkan diri di atas kasur, mencoba kembali menemukan kejanggalan kejanggalan yang makin lama makin kurasakan sejak ikut serta aktif dalam misi kristenisasi bersama Om Lucas. Mataku menatap langit-langit kamar berharap menemukan jawabannya. Ah tapi tak mungkin ku dapat jawaban dari sana. Sepertinya harus aku cari tahu secepatnya. "Mba Intan belum tidur?" tanya Maya tiba tiba naik ke ranjangku yang berada tepat di atas ranjangnya. Maya, adik perempuanku yang usianya tak jauh dariku, hanya beda dua tahun antara aku dan dia. Aku dan Maya memang tidur di kamar yang sama, dengan ranjang bertingkat karena keterbatasan ruang dalam rumah mungilku. "Mba bingung dek, makin lama mba berkecimpung dalam misi kristenisasi Om Lucas koq mba makin merasa ga nyaman ya dek? Ujarku berharap ada masukan positif darinya. Aku memang terbiasa menjadikan Maya sebagai teman curhatku. Karena memang Maya lah satu-satunya saudara yang ku punya.  
             " Hm... Mba baru merasakan sekarang yah? Maya udah ngerasain dari dulu mba, maka nya pas Om Lucas ngajakin  Maya, Maya tolak.:" jawabnya sembari membetulkan posisi duduknya di atas ranjangku. "Koq bisa?," tanya ku kaget mengetahui bahwa Maya juga merasakan hal yang sama. "Iya mba sebenernya Maya juga pengin cerita sama Mba Intan, tapi takut mba Intan marah, ya udah Maya simpan sendiri kejanggalan yang Maya rasakan." jawabnya  "Mba, Maya mau pindah agama," lanjutnya, kepalanya menunduk menatap sprei biru yang menghiasi kasurku. Rasa letih yang tadi kurasakan seakan lenyap setelah mendengar pernyataan Maya. Aku sungguh tak mengira, di usia nya yang lebih muda dariku –walau hanya dua tahun lebih muda- ia berani mengutarakan hal itu, walau masih ada keraguan yang tersirat dari wajah lembutnya. Tapi ku tahu, itu bukan kehawatiran dengan jalan yang akan ia pilih, tapi kehawatiran akan reaksi dari orang-orang terdekatnya ketika tahu bahwa dirinya akan berpindah keyakinan. Keyakinan yang sedari kecil begitu kental diajarkan oleh Ayah dan Ibu, keyakinan yang selama ini pula kami jalani. Bahkan keyakinan itu pula lah yang membuat diriku kini menjadi seperti terombang-ambing, tak ada tujuan, tak memiliki pegangan, bahkan hati ini rasanya kosong dan hampa. "Kamu sudah yakin agama yang kamu anut nantinya bisa membahagiakanmu?" tanya ku untuk membuktikan keteguhannya. "Yakin Mba," jawabnya mantap "Kalau begitu, Mba cuma bisa mengiyakan, karena kamu sudah dewasa dan bisa menentukan arah mu sendiri. Sudah bicara sama Ayah dan Ibu?" tanya ku sekali lagi padanya.  Aku sangat khawatir padanya jika ayah dan ibu marah saat mengetahui keinginan Maya tuk pindah agama dan mengusirnya dari rumah. Aduh Intan, jangan berpikiran negatif !!, ucapku pada diri sendiri. Ku mencoba mengusir pikiran negatif itu, karena ku yakin ayah dan ibu tak akan melakukan hal itu pada Maya. Karena aku dan Maya didik dari kecil dengan pendidikan yang mengajarkan kami untuk mengambil suatu keputusan sendiri, dan mereka selalu menghormati keputusan kami, walau nantinya keputusan yang kami ambil salah dan marugikan diri kami. Setelah itu ayah dan ibu pasti memberikan arahan kepada kami agar tak mengambil keputusan yang salah itu untuk yang kedua kalinya. "Belum Mba, mungkin besok ketika sarapan pagi" "Kalau mba boleh tau, kenapa kamu tiba-tiba ingin pindah agama?" tanya ku padanya "Bukan tiba-tiba mba, semua ada prosesnya, Maya yang tadinya hanya berusaha mencari tahu jawaban akan kejanggalan-kejanggalan yang Maya rasakan dari agama kita,  akhirnya Maya menemukan suatu jawaban yang sangat memuaskan, tak ada keraguan dalam kitab sucinya, begitu merdunya panggilan beribadahnya yang tiap kali di perdengarkan akan  membuat jiwa Maya bergetar, begitu juga jika kitab sucinya dibacakan, maka ada getaran halus dari dalam kalbu yang dapat membuat jiwa seperti menemukan kembali nutrisinya untuk semangat dalam setiap akifitas Mba" jawabnya.dengan berapi-api karena Maya telah menemukan apa yang selama ini ia cari.  "Mba Maya tidur duluan ya," ucapnya kembali saat aku belum sempat mengucapkan satu kata pun untuk mengomentari apa yang ia ceritakan tadi. "Iya," jawabku singkat, jelas dan padat. Maya turun dari ranjangku sedangkan aku menarik selimut. Mencoba mencerna kata-kata Maya tadi. Apa iya jika kitab sucinya dibacakan jiwa kita seperti menemukan nutrisi yang hilang?apa benar jika suara panggilan beribadahnya dapat menggetarkan jiwa?dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tak bisa kujawab. ***  
                  Pagi ini cerah sekali,matahari bersinar tersenyum menyambut pagi. Sebagian sinar hangat nya masuk melalui celah-celah jendela-jendela rumahku. Seharusnya jiwa ku pun secerah pagi ini, tapi sebaliknya  tapi perbincanganku dengan  Maya semalam masih menyisakan kebingunan tersendiri pada ku. Kini kami sudah berkumpul di meja makan untuk sarapan pagi bersama. Kebiasaan seperti ini memang sudah kami lakukan dari dulu, entah sejak kapan, aku pun tak bisa mengingatnya, yang jelas sarapan pagi bersama adalah kegiatan rutin keluarga kami. Setelah menghabiskan nasi goreng buatan ibu, Maya memulai mencoba mengutarakan keinginannya, seperti yang telah ia lakukan kepadaku semalam. Ada garis kekecewaan yang kutangkap dari wajah Ayah setelah Maya selesai berbicara. Garis kekecewaan itu kurasa wajar karena putri bungsunya kini menyatakan keinginannya untuk pindah agama. Setiap orangtua pasti tak ada yang ingin berbeda keyakinan dari darah dagingnya, tapi inilah kenyataan yang harus diterimanya.  Ayah terdiam beberapa saat. Waktu seolah berhenti berputar dan suasana menjadi kaku. Tak satu kata pun terucap dari mulut ibu. Ayah menghabiskan susu dalam gelasnya yang berada di hadapannya. "Kalau itu keputusanmu, Ayah tak bisa memaksa. Usiamu sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanmu." Jelas ayah sambil membelai lembut kepala Maya. Aku menangkap senyum yang mengembang di wajah keduanya. ***  Sudah dua minggu aku absen dari kegiatan TK keliling. Entah alasan apa lagi yang kupakai untuk menghindar dari ini semua. Kurasa Om Lucas merasakan bahwa aku sudah tak berminat lagi ikut serta dalam misinya. Bagiku kegiatan ini sangatlah licik. Membuat orang miskin meninggalkan keyakinannya dengan iming-iming uang dan kehidupan yang layak. Ini cara yang tidak sehat untuk mengambil hati kaum kelas bawah agar mereka berpindah agama.  Hati keciku sungguh tak setuju. Bukankah tak ada paksaan dalam menganut agama? Bukankah kita dapat hidup berdampingan tanpa mempermasalahkan agama? Aku sudah mencoba membicarakan hal ini pada Om Lucas, tapi tetap saja ia tak mau menghentikan kegiatannya.  Hm kalau begitu lebih baik aku saja yang berhenti dari kegiatan itu. Lebih baik kutinggalkan daripada apa yang ku lakukan bertentangan dengan hati nurani. Maya sudah resmi masuk agama Islam sejak dua minggu yang lalu dan mengucapkan syahadat, atau apalah namanya aku tak mengerti.  Tapi jujur semenjak itu, aku menjadi semakin penasaran dengan agama yang dianut Maya kini. Tiap tengah malam aku selalu terbangun karena mendengar isak tangis Maya yang berdoa untuk aku, ayah dan Ibu agar kami mendapat hidayah. Aku bisa menangkap keseriusannya walau ketika ku terbangun aku hanya membuka mata dan pura-pura masih terlelap tidur karena takut menganggu dirinya berdoa.  Juga ketika Maya menyetel murotal quran – begitu yang ku tahu ketika aku menenyakan padanya – setiap pagi. Ada rasa yang sulit kuungkapkan setiap kali aku mendengarnya. Mungkin ini yang dirasakan maya ketika itu. Ketika ia pertama kali mendengarnya Aku pun terang-terangan meminta Maya megajariku tentang apa yang dipelajari di agamnya, tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Maya mengajariku dengan penuh kesabaran. Aku pun kini menjadi tahu apa yang melatarbelakangi Maya ketika ia ingin pindah keyakinan. Ya sama, tak jauh memang dari apa yang kurasakan akhir-akhir ini, namun kurasa dirinya lebih beruntung karena merasakan hal ini lebih dulu daripada aku dan ia juga menemukan seseorang yang bisa mengajarinya banyak mengenai hal ini.  Ya ketika dalam kedaan yang penuh kebimbangan, Maya berusaha mencari sumber-sumber buku yang bisa ia pelajari di rumah. Ketika dirinya sedang berada di perpustakaan, ia bertemu dengan seorang  wanita yang mengajar taman kanak-kanak Al-Quran di rumah mungil di depan komplek dimana kami tinggal. Setelah berkenelan dengannya,  Maya meminta dirinya membantu menjawab semua kebimbangan yang bercokol dihatinya. *** Pagi ini aku kembali dikejutkan oleh Maya yang kini memakai pakaian tertutup dari ujung rambut hingga ujung kaki tak ada bagian tubuh yang terlihat kecuali wajah dan telapak tangan. Ayah dan Ibu pun terkejut tetapi mereka tidak mengelurakn komentar sedik pun. Mungkin merasa bahwa Maya sudah dewasa yang sudah bisa menentukan prinsip hidupnya.  Tapi kurasa hari ini Ayah dan Ibu bukan hanya dikejutkan oleh Maya tetapi juga oleh kurasa mereka akan terkejut setelah mendengar keinginanku yang sama dengan keinginan Maya sebulan yang lalu. Ya setelah mendalami dan belajar banyak dari Maya selama kurang lebih dua minggu, aku kini mantap untuk memeluk agama Islam. Agama yang sebenarnya kurindukan selama ini. Agama yang dapat menentramkan jiwa dari berbagai kegelisahan yang sempat menderaku beberapa waktu yang lalu. Kurasa hal ini juga merupakan berkat doa-doa yang selalu dipanjatkan Maya setiap malam.  Tapi aku masih belum mantap menggunakan jilbab, tapi aku sudah merencanakannya secepat mungkin setelah aku menguapkan dua kalimat syahadat.  Reaksi yang sama yang ditujunkkan ayah dan ibu ketika aku mengutarakan keinginanku. Mereka membebaskan ku untuk memilih prinsip hidupku. Tapi Ayah dan Ibu juga harus tahu bahwasannya aku dan Maya selalu mendoakan kalian agar bisa mendapat hidayah seperti apa yang kudapat saat ini. Agar kita bisa berkumpul bersama-sama sampai akhirat nanti ditempat yang dijanjikan Allah untuk orang-orang yang bertawa.

kursor