Minggu, 24 Juni 2012

Sekeping Kenangan UN

         Sekeping Kenangan UN


Sekarang liburan semester genap dan usai liburan ini pendidikan q akan segera melangkah pada tahapan semester selanjutnya yakni semester 5. Mengisi liburan semester ini aq mencoba merapihkan rak buku yang sudah sekian lama tak sempat aq rapihkan. Ada 2 kemungkinan untuk itu, yang pertama karena banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menjadikan q belum sempat merapihkannya dan yang kedua karena aq mungkin terlalu malsa untuk itu, hehehe
Ku raih kembali novel Dalam Mihrab Cinta yang sudah lama tersimpan dalam rak buku. Novel kenangan yang dihadiahkan seseorang berinisial ‘S’ saat hari terakhir Ujian Nasional.
Memory kenanganku terasa bergerak perlahan menuju tahun 2009 saat dimana buku itu aq terima dan ketika itu aq masih duduk di kelas VI KMI.
.
***
 "Atat sayyaraoh"(1) seru seorang temanku yang memberitahukan kami yang masih sibuk berkutat dengan kesibukan masing masing. Sebagian kami ada yang baru selesai mandi karena baru mendapatkan giliran mandi. Sebagian lainnya sudah siap menunggu kedatangan mobil angkot berwarna putih di depan kamar sambil menbaca-baca materi yang bersangkutan dengan mata pelajaran pertama yang akan diujikan.
Ujian nasional diselenggarakan di pondok pesantren khusus putra yang memang masih dalam satu naungan yayasan. Karena jumlah santriwati akhir yang hanya 19 orang tidak memenuhi syarat untuk minimal penyelenggaraan ujian nasional, maka ujian nasional digabung dengan santriwan.
Satu persatu dari kami masuk kedalam angkot berwarna putih yang siap membawa kami ke medan tempur yang bernama ujian nasional. Kendaran pribadi pondok yang berupa angkot berwarna putih ini memang tidak bisa menampung seluruh santriwati akhir yang walaupun hanya berjumlah 19 orang. Tetapi sebagian dari kami di jemput dengan memakai mobil kijang yang di bagian tengahnya sudah tidak ada kursinya sehingga kami berjongkok agar kemeja putih dan rok abu-abu kami tidak kotor oleh debu yang menempel pada karpet mobil. Tapi walaupun begitu aku yang kebetulan naik mobil kijang menikmati perjalanan singkat dengan begitu menyenangkan. Karena kami masih bisa menciptakan tawa walau ada monster besar yang harus segera kami taklukan di medan pertempuran ujian nasional.
Sesampainya disana, aku beserta teman yang lainnya menuju ruangan dimana aku akan memperjuangkan hasil belajar selama tiga tahun dalam waktu yang bisa dibilang singkat yaitu selama lima hari. Belum puas aku melihat tempat dudukku serta siapa saja yang duduk di dekat ku, kami sudah diminta untuk berkumpul dilapangan dan hendak diberikan nasihat-nasihat dari pimpinan pondok juga dari kepala madrasah.
Aku menangkap garis-garis kekhawatiran dari raut wajah pimpinan pondok juga kepala madrasah. Aku juga sepertinya begitu jika aku berada pada posisi mereka. Kekhawatiran akan anak didik yang menjalani ujian nasional, karena memang keputusan yang dihasilkan dari ujian nasional memang tak pandang bulu. Siswa yang dalam kesehariannya selalu mendapatkan nilai sempurna, aktif dalam setiap mata pelajaran, bisa tiba-tiba dinyatakan tidak lulus karena dirinya tidak sempurna dalam memberi bulatan pada lembar jawaban computer yang sangat sensitive itu.
Seandainya ada siswa atau siswi yang dinyatakan tidak lulus, bukan saja siswa yang  bersangkutan yang malu, bahkan kepala sekolah dan wali kota dari daerah dimana siswa tersebut bersekolah pun ikut menanggung malu, dan siswa yang tidak lulus akan dianggap sebagai pencoreng nama baik sekolah
Ups tak sadar, rupanya aku melamun terlalu jauh, hingga tak betul-betul mendengarkan nansihat yang begitu berharga dari kepala madrasah dan bapak pimpinan pondok. "Maaf kan aku ustadz" bisikku, sebagian teman-temanku sudah beranjak menuju kelas, bahkan beberapa masih ada yang sempat membolak-balik buku berharap ada setitik keajaiban yang bisa ia pergunakan ketika mengisi lembar jawaban.
Masuk kedalam ruangan seakan masuk kedalam medan pertempuran yang begitu mengerikan, sungguh aku sangat takut apalagi jika membayangkan aku gagal dalam ujian nasional, uhh…rasanya aku mulai pesimis, ku perbaiki kembali semangatku sesaat sebelum mata pelajaran pertama ujian dimulai.
Bismillahirrahmanirrahim aku bisa, begitu pekikku dalam hati, mencoba mengobarkan semangat dalam diri. Menepis semua perasaan negative dan pesimis dari diriku, karena jika rasa itu tidak kutepis maka rasa itu akan dengan mudah membuatku lemah tak berdaya dihadapan monster nan mengerikan itu.
Lima belas menit pertama keadaan kelas bisa dikendalikan oleh pengawas ruangan. Tetapi menit selanjutnya kedua pengawas ruangan yang diberi amanah untuk menjaga ketertiban kelas saat ujian malah keluar meninggalkan ruang kelas dan memilih duduk-duduk di depan kelas. Melihat keadaan seperti ini seisi kelas memanfaatkan kesempatan yang terbuka lebar seperti ini, keadaan di dalam kelas mulai gaduh, aku mulai tidak bisa berkosentrasi.
"Sstt ini kesempatan bagus Nay, kayaknya mereka sengaja keluar ruangan ujian biar kita leluasa bertukar jawaban," ucap Novia yang duduk disamping kananku, dengan setengah berbisik, sepertinya ia sedari tadi melihat diriku sedikit kebingungan atas kegaduhan ini. Sontak aku terkejut, ujian macam apa ini? Tanyaku dalam hati, seingatku sewaktu ujian nasional di SD dan SMP tidak seperti ini.
"Nomer 23 apa jawabannya?" Tanya novia kepadaku, aku berfikir sejenak, jika semua orang meminta jawaban satu sama lain, aku pun tak ada salah nya ikut serta dalam 'kegiatan' ini dengan meminta jawaban dari beberapa pertanyaan yang sulit aku jawab, dan aku memberikan jawabanku kepada orang-orang yang 'membutuhkan'. Hihihi seru juga sepertinya.
"Jangan berisik ya!! Kalau mau tukar jawaban jangan sampai menimbulkan suara gaduh!" ucap salah seorang dari pengawas ruangan yang masuk kembali kedalam ruangan guna memberi peringatan pada kami yang membuat sedikit kegaduhan. Aneh, padahal pengawas bukan dari sekolah kami, tapi mereka membiarkan kami ‘kerja-sama’ seperti ini. Sejenak kemudian kelas kembali hening, dan pengawas ruangan kembali ke luar ruang ujian menemui pengawas ruang yang satunya.
Aku menahan tawa dalam hati, bagaimana tidak, kejadian seperti ini memang menggelikkan, pengawas ruangan memberikan kesempatan siswa untuk bertukar jawaban, ah rasanya momok menyeramkan kini berubah menjadi sesuatu yang menggelikan, dan tak perlu ditakuti karena kita akan bekerja sama tolong menolong menghadapi ujian nasional, dan memang hal ini bukan hanya terjadi di sekolahku, hal ini ternyata sudah menjadi rahasia umum bahwa ujian nasional haruslah dibangun dengan landasan 'tolong-menolong' agar semuanya sukses dalam ujian nasional.
Sedikit canggung memang awalnya berinteraksi dengan lawan jenis dalam satu kelas, karena memang sudah kurang lebih tiga tahun aku tidak berinteraksi dengan teman sebaya yang berjenis kelamin laki-laki dalam satu kelas. Karena selama ini kegiatan belajar mengajar yang aku dan kedelapan belas temanku jalani memang dipisah dengan laki-laki. Jadi wajar saja kali ini memang aku merasa lebih nyaman jika berinteraksi dengan perempuan.
Tetapi dengan kedaan yang seperti ini rasanya kita saling berbaur, dan tak ada rasa canggung lagi, karena tentunya kita tak ingin salah seorang dari teman kita tertinggal di madrasah aliyah sementara yang lainnya terus melangkahkan kakinya menggapai cita-cita di Perguruan Tinggi.
Risih rasanya memang dengan keadaan ujian yang tidak kondusif seperti ini,walaupun tidak membuat kegaduhan, tetap saja sepenggal suara yang volume yang rendah bisa membuyarkan konsentrasiku karena aku tipe orang yang membutuhkan kesunyian untuk berfikir mengerjakan soal ujian nasional.
Tapi di hari kedua ujian nasional aku sudah bisa mulai adaptasi dengan keadaan seperti ini, mulai terbiasa dengan suara suara yang meminta jawaban ketika aku sedang mencoba mengingat beberapa materi yang terkait dengan soal. Aku pun begitu, aku juga sepertinya telah membuyarkan konsentrasi seseorang ketika aku meminta jawaban darinya. Hihi tak apalah.
Ada satu yang membuatku terkesan akan hadirnya ujian Nasional. Teman laki-laki berinisial ‘S’ yang duduk tak jauh dariku, dan kebetulan kami mendapatkan paket soal yang sama. Dia selalu menanyakan jawaban disaat aku masih mengisi identitas di LJK. Kurasa seperti tak ada kemauan dalam dirinya untuk berusaha menjawab soal sesuai kemampuannya. Dia begitu mengandalkan diriku, sebenarnya tak rela juga jika memberikan semua jawaban hasil jerih payahku pada orang itu, tapi mau bagaimana lagi, kasihan juga sih kalau sampai tidak lulus. Akhirnya ku hanya memberitahu sebagaian jawaban, tidak semuanya, aku ingin ia berusaha tanpa mengandalkan aku.
Selalu begitu sejak hari pertama, hingga hari terakhir. Dia selalu tak memberikan aku waktu sejenak untuk berfikir dalam mengisi lembar jawaban.
Pagi hari sebelum bel tanda ujian dimulai, seorang sahabatku memberikan aku sebuah novel karya sang novelis terkenal Habiburrahman El-shirazy yang berjudul dalam mihrab cinta. Padahal aku juga sudah membacanya walau memang aku belum memilikinya.
“Dari siapa Ros?” tanyaku pada Siti Rohimah yang biasa dipanggil Ros.
“Dari ‘S’,” jawabnya sambil tersenyum-senyum menggodaku yang dapat hadiah di hari terakhir UN.
Kulirik dia yang sedang berbincang-bincang ria dengan teman-temannya di luar kelas.
***
“Nay, maaf ya udah gangguin kamu, novel tadi sebagai tanda terima-kasih, permintaan maaf juga sebagai kenang-kenangan,” ujarnya padaku ketika aku hendak keluar kelas dan memang ini pertemuan terakhir ku dengan ‘dia’ dalam moment UN karena memang hari ini hari terakhir UN.
            “Syukron (2),” jawabku tanpa banyak basa-basi dan aku segera berjalan meninggalkan ruang ujian yang penuh kenangan.
            “Ya Allah maafkan kami, karena telah menodai Ujian Nasional yang seharusnya menjadi ajang melatih kejujuran,” bisikku dalam hati karena merasa bersalah telah tidak jujur ketika mengerjakan soal dan merasa ada sebuah beban berat atas apa yang kami lakukan ketika UN yang harus  dipertanggung-jawabkan di hadapan-Nya di hari nanti.

Catatan :
(1)   Mobilnya sudah datang
(2)   Terimakasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

kursor