Sekarang liburan semester genap dan usai liburan ini pendidikan q akan segera melangkah pada tahapan semester selanjutnya yakni semester 5. Mengisi liburan semester ini aq mencoba merapihkan rak buku yang sudah sekian lama tak sempat aq rapihkan. Ada 2 kemungkinan untuk itu, yang pertama karena banyak kegiatan dan tugas kuliah yang menjadikan q belum sempat merapihkannya dan yang kedua karena aq mungkin terlalu malsa untuk itu, hehehe
Ku raih kembali novel Dalam Mihrab
Cinta yang sudah lama tersimpan dalam rak buku. Novel kenangan yang dihadiahkan
seseorang berinisial ‘S’ saat hari terakhir Ujian Nasional.
Memory kenanganku terasa bergerak perlahan menuju tahun 2009 saat dimana buku itu aq terima dan ketika itu aq masih duduk di kelas VI KMI.
.
***
"Atat sayyaraoh"(1) seru seorang temanku yang memberitahukan kami yang
masih sibuk berkutat dengan kesibukan masing masing. Sebagian kami ada yang
baru selesai mandi karena baru mendapatkan giliran mandi. Sebagian lainnya
sudah siap menunggu kedatangan mobil angkot berwarna putih di depan kamar
sambil menbaca-baca materi yang bersangkutan dengan mata pelajaran pertama yang
akan diujikan.
Ujian nasional
diselenggarakan di pondok pesantren khusus putra yang memang masih dalam satu
naungan yayasan. Karena jumlah santriwati akhir yang hanya 19 orang tidak
memenuhi syarat untuk minimal penyelenggaraan ujian nasional, maka ujian
nasional digabung dengan santriwan.
Satu persatu
dari kami masuk kedalam angkot berwarna putih yang siap membawa kami ke medan
tempur yang bernama ujian nasional. Kendaran pribadi pondok yang berupa angkot
berwarna putih ini memang tidak bisa menampung seluruh santriwati akhir yang
walaupun hanya berjumlah 19 orang. Tetapi sebagian dari kami di jemput dengan
memakai mobil kijang yang di bagian tengahnya sudah tidak ada kursinya sehingga
kami berjongkok agar kemeja putih dan rok abu-abu kami tidak kotor oleh debu
yang menempel pada karpet mobil. Tapi walaupun begitu aku yang kebetulan naik
mobil kijang menikmati perjalanan singkat dengan begitu menyenangkan. Karena
kami masih bisa menciptakan tawa walau ada monster besar yang harus segera kami
taklukan di medan pertempuran ujian nasional.
Sesampainya
disana, aku beserta teman yang lainnya menuju ruangan dimana aku akan
memperjuangkan hasil belajar selama tiga tahun dalam waktu yang bisa dibilang
singkat yaitu selama lima hari. Belum puas aku melihat tempat dudukku serta
siapa saja yang duduk di dekat ku, kami sudah diminta untuk berkumpul
dilapangan dan hendak diberikan nasihat-nasihat dari pimpinan pondok juga dari
kepala madrasah.
Aku
menangkap garis-garis kekhawatiran dari raut wajah pimpinan pondok juga kepala
madrasah. Aku juga sepertinya begitu jika aku berada pada posisi mereka.
Kekhawatiran akan anak didik yang menjalani ujian nasional, karena memang
keputusan yang dihasilkan dari ujian nasional memang tak pandang bulu. Siswa yang
dalam kesehariannya selalu mendapatkan nilai sempurna, aktif dalam setiap mata
pelajaran, bisa tiba-tiba dinyatakan tidak lulus karena dirinya tidak sempurna
dalam memberi bulatan pada lembar jawaban computer yang sangat sensitive itu.
Seandainya
ada siswa atau siswi yang dinyatakan tidak lulus, bukan saja siswa yang bersangkutan yang malu, bahkan kepala sekolah
dan wali kota dari daerah dimana siswa tersebut bersekolah pun ikut menanggung
malu, dan siswa yang tidak lulus akan dianggap sebagai pencoreng nama baik
sekolah
Ups tak
sadar, rupanya aku melamun terlalu jauh, hingga tak betul-betul mendengarkan
nansihat yang begitu berharga dari kepala madrasah dan bapak pimpinan pondok. "Maaf
kan aku ustadz" bisikku, sebagian teman-temanku sudah beranjak menuju
kelas, bahkan beberapa masih ada yang sempat membolak-balik buku berharap ada
setitik keajaiban yang bisa ia pergunakan ketika mengisi lembar jawaban.
Masuk
kedalam ruangan seakan masuk kedalam medan pertempuran yang begitu mengerikan,
sungguh aku sangat takut apalagi jika membayangkan aku gagal dalam ujian
nasional, uhh…rasanya aku mulai pesimis, ku perbaiki kembali semangatku sesaat
sebelum mata pelajaran pertama ujian dimulai.
Bismillahirrahmanirrahim
aku bisa, begitu pekikku dalam hati, mencoba mengobarkan semangat dalam diri.
Menepis semua perasaan negative dan pesimis dari diriku, karena jika rasa itu
tidak kutepis maka rasa itu akan dengan mudah membuatku lemah tak berdaya dihadapan
monster nan mengerikan itu.
Lima belas
menit pertama keadaan kelas bisa dikendalikan oleh pengawas ruangan. Tetapi
menit selanjutnya kedua pengawas ruangan yang diberi amanah untuk menjaga
ketertiban kelas saat ujian malah keluar meninggalkan ruang kelas dan memilih
duduk-duduk di depan kelas. Melihat keadaan seperti ini seisi kelas
memanfaatkan kesempatan yang terbuka lebar seperti ini, keadaan di dalam kelas
mulai gaduh, aku mulai tidak bisa berkosentrasi.
"Sstt ini
kesempatan bagus Nay, kayaknya mereka sengaja keluar ruangan ujian biar kita
leluasa bertukar jawaban," ucap Novia yang duduk disamping kananku, dengan
setengah berbisik, sepertinya ia sedari tadi melihat diriku sedikit kebingungan
atas kegaduhan ini. Sontak aku terkejut, ujian macam apa ini? Tanyaku dalam
hati, seingatku sewaktu ujian nasional di SD dan SMP tidak seperti ini.
"Nomer
23 apa jawabannya?" Tanya novia kepadaku, aku berfikir sejenak, jika semua
orang meminta jawaban satu sama lain, aku pun tak ada salah nya ikut serta
dalam 'kegiatan' ini dengan meminta jawaban dari beberapa pertanyaan yang sulit
aku jawab, dan aku memberikan jawabanku kepada orang-orang yang 'membutuhkan'. Hihihi
seru juga sepertinya.
"Jangan
berisik ya!! Kalau mau tukar jawaban jangan sampai menimbulkan suara
gaduh!" ucap salah seorang dari pengawas ruangan yang masuk kembali
kedalam ruangan guna memberi peringatan pada kami yang membuat sedikit
kegaduhan. Aneh, padahal pengawas bukan dari sekolah kami, tapi mereka
membiarkan kami ‘kerja-sama’ seperti ini. Sejenak kemudian kelas kembali
hening, dan pengawas ruangan kembali ke luar ruang ujian menemui pengawas ruang
yang satunya.
Aku menahan
tawa dalam hati, bagaimana tidak, kejadian seperti ini memang menggelikkan,
pengawas ruangan memberikan kesempatan siswa untuk bertukar jawaban, ah rasanya
momok menyeramkan kini berubah menjadi sesuatu yang menggelikan, dan tak perlu
ditakuti karena kita akan bekerja sama tolong menolong menghadapi ujian
nasional, dan memang hal ini bukan hanya terjadi di sekolahku, hal ini ternyata
sudah menjadi rahasia umum bahwa ujian nasional haruslah dibangun dengan
landasan 'tolong-menolong' agar semuanya sukses dalam ujian nasional.
Sedikit canggung
memang awalnya berinteraksi dengan lawan jenis dalam satu kelas, karena memang
sudah kurang lebih tiga tahun aku tidak berinteraksi dengan teman sebaya yang
berjenis kelamin laki-laki dalam satu kelas. Karena selama ini kegiatan belajar
mengajar yang aku dan kedelapan belas temanku jalani memang dipisah dengan
laki-laki. Jadi wajar saja kali ini memang aku merasa lebih nyaman jika
berinteraksi dengan perempuan.
Tetapi dengan
kedaan yang seperti ini rasanya kita saling berbaur, dan tak ada rasa canggung
lagi, karena tentunya kita tak ingin salah seorang dari teman kita tertinggal di
madrasah aliyah sementara yang lainnya terus melangkahkan kakinya menggapai
cita-cita di Perguruan Tinggi.
Risih
rasanya memang dengan keadaan ujian yang tidak kondusif seperti ini,walaupun
tidak membuat kegaduhan, tetap saja sepenggal suara yang volume yang rendah
bisa membuyarkan konsentrasiku karena aku tipe orang yang membutuhkan kesunyian
untuk berfikir mengerjakan soal ujian nasional.
Tapi di hari
kedua ujian nasional aku sudah bisa mulai adaptasi dengan keadaan seperti ini, mulai
terbiasa dengan suara suara yang meminta jawaban ketika aku sedang mencoba
mengingat beberapa materi yang terkait dengan soal. Aku pun begitu, aku juga
sepertinya telah membuyarkan konsentrasi seseorang ketika aku meminta jawaban
darinya. Hihi tak apalah.
Ada satu
yang membuatku terkesan akan hadirnya ujian Nasional. Teman laki-laki berinisial
‘S’ yang duduk tak jauh dariku, dan kebetulan kami mendapatkan paket soal yang
sama. Dia selalu menanyakan jawaban disaat aku masih mengisi identitas di LJK.
Kurasa seperti tak ada kemauan dalam dirinya untuk berusaha menjawab soal
sesuai kemampuannya. Dia begitu mengandalkan diriku, sebenarnya tak rela juga
jika memberikan semua jawaban hasil jerih payahku pada orang itu, tapi mau
bagaimana lagi, kasihan juga sih kalau sampai tidak lulus. Akhirnya ku hanya
memberitahu sebagaian jawaban, tidak semuanya, aku ingin ia berusaha tanpa
mengandalkan aku.
Selalu
begitu sejak hari pertama, hingga hari terakhir. Dia selalu tak memberikan aku
waktu sejenak untuk berfikir dalam mengisi lembar jawaban.
Pagi hari
sebelum bel tanda ujian dimulai, seorang sahabatku memberikan aku sebuah novel
karya sang novelis terkenal Habiburrahman El-shirazy yang berjudul dalam mihrab
cinta. Padahal aku juga sudah membacanya walau memang aku belum memilikinya.
“Dari siapa
Ros?” tanyaku pada Siti Rohimah yang biasa dipanggil Ros.
“Dari ‘S’,”
jawabnya sambil tersenyum-senyum menggodaku yang dapat hadiah di hari terakhir
UN.
Kulirik dia
yang sedang berbincang-bincang ria dengan teman-temannya di luar kelas.
***
“Nay, maaf
ya udah gangguin kamu, novel tadi sebagai tanda terima-kasih, permintaan maaf
juga sebagai kenang-kenangan,” ujarnya padaku ketika aku hendak keluar kelas dan
memang ini pertemuan terakhir ku dengan ‘dia’ dalam moment UN karena memang
hari ini hari terakhir UN.
“Syukron
(2),” jawabku tanpa banyak basa-basi dan aku segera
berjalan meninggalkan ruang ujian yang penuh kenangan.
“Ya
Allah maafkan kami, karena telah menodai Ujian Nasional yang seharusnya menjadi
ajang melatih kejujuran,” bisikku dalam hati karena merasa bersalah telah tidak
jujur ketika mengerjakan soal dan merasa ada sebuah beban berat atas apa yang
kami lakukan ketika UN yang harus dipertanggung-jawabkan di hadapan-Nya di hari
nanti.
Catatan :
(1) Mobilnya sudah datang
(2) Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar